
Pemakzulan Wapres Diatur Konstitusi, Pertahankan Gibran Justru Lebih Berbahaya
Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat setelah Forum Purnawirawan TNI mengajukan desakan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mencopotnya dari jabatan. Desakan ini memicu perdebatan di kalangan pakar hukum dan pengamat politik mengenai dasar hukum, legitimasi, serta implikasi politik dari mempertahankan atau memakzulkan Gibran.?
Dasar Hukum Pemakzulan
Menurut Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945, presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Proses ini harus melalui pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi dan keputusan politik di DPR dan MPR.?
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menyebutkan bahwa terdapat tiga kemungkinan dasar hukum yang bisa digunakan sebagai pintu masuk proses pemakzulan terhadap Gibran. Namun, ia menekankan bahwa proses tersebut harus melalui mekanisme konstitusional yang ketat dan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.?
Legitimasi Politik dan Kontroversi Pencalonan
Pencalonan Gibran sebagai wakil presiden pada Pemilu 2024 sempat menuai kontroversi, terutama terkait putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini dianggap sebagai "karpet merah" bagi Gibran untuk maju dalam pilpres, mengingat usianya yang saat itu belum memenuhi syarat sebelumnya.?
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa putusan tersebut telah melanggar hukum acara Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Kehakiman. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi pencalonan dan pelantikan Gibran sebagai wakil presiden.?
Pendapat Pakar dan Pengamat Politik
Pengamat politik Rocky Gerung menyatakan bahwa desakan pemakzulan terhadap Gibran adalah legal sesuai konstitusi dan lebih baik daripada praktik "cawe-cawe" politik yang tidak transparan. Ia berpendapat bahwa kapasitas Gibran dalam menghadapi kompleksitas politik global masih diragukan, sehingga wacana pemakzulan menjadi relevan.?
Namun, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai bahwa Gibran bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran saat pilpres. Ia berpendapat bahwa jika pemakzulan dilakukan hanya terhadap Gibran, maka Presiden Prabowo Subianto juga seharusnya terdampak.
Implikasi Politik dan Stabilitas Pemerintahan
Wacana pemakzulan terhadap Gibran memiliki implikasi politik yang signifikan. Di satu sisi, mempertahankan Gibran tanpa melalui proses hukum yang transparan dapat merusak legitimasi pemerintahan dan menimbulkan ketidakpercayaan publik. Di sisi lain, proses pemakzulan yang tidak didasarkan pada bukti kuat dan prosedur konstitusional dapat menciptakan instabilitas politik dan mengganggu jalannya pemerintahan.??
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menegaskan bahwa semua pihak harus berpegang pada konstitusi dalam menyikapi wacana pemakzulan ini. Ia menyatakan bahwa MPR akan menelaah desakan tersebut dengan cermat dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.?
Kesimpulan
Pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan isu kompleks yang melibatkan aspek hukum, politik, dan legitimasi. Meskipun konstitusi menyediakan mekanisme untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, proses tersebut harus didasarkan pada bukti pelanggaran hukum yang kuat dan melalui prosedur yang ketat. Mempertahankan Gibran tanpa klarifikasi terhadap kontroversi pencalonannya dapat merusak kepercayaan publik, sementara pemakzulan yang tidak berdasar dapat menciptakan instabilitas politik. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk mengedepankan prinsip hukum dan konstitusi dalam menyikapi isu ini.?
Untuk mengirim komentar, Anda perlu login.
Komentar
Belum ada komentar.