
Iran Siapkan “Proposal Pembatasan Nuklir” untuk Perundingan Kedua dengan AS di Roma
Teheran, 18 April 2025 — Pemerintah Iran dikabarkan sedang menyusun proposal strategis mengenai pembatasan program nuklirnya menjelang perundingan putaran kedua dengan Amerika Serikat yang dijadwalkan berlangsung pekan depan di Roma, Italia. Perundingan ini merupakan lanjutan dari dialog diplomatik yang sempat berlangsung tertutup pada Februari lalu, dengan tujuan utama meredakan ketegangan nuklir yang meningkat pasca kegagalan reaktivasi kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2023.
Langkah Progresif Iran Menuju Dialog Konstruktif
Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amir-Abdollahian, dalam konferensi pers pada Rabu (16/4) mengungkapkan bahwa proposal tersebut difokuskan pada “pengurangan tingkat pengayaan uranium dan transparansi pengawasan internasional.” Ia menekankan bahwa Iran siap menunjukkan itikad baik demi menjaga stabilitas kawasan dan membuka jalan menuju penghapusan sanksi ekonomi.
“Kami telah belajar dari kegagalan JCPOA. Oleh karena itu, pendekatan kami saat ini lebih realistis dan bertahap, serta menjamin kedaulatan nasional tetap terjaga,” ujar Amir-Abdollahian di Teheran.
Sumber diplomatik dari Uni Eropa yang terlibat dalam fasilitasi dialog menyebutkan bahwa proposal Iran kali ini berisi pembatasan tingkat pengayaan uranium maksimal pada 3.67% selama dua tahun ke depan, dengan inspeksi penuh oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Selain itu, Iran disebutkan bersedia membekukan pembangunan sentrifugal lanjutan selama proses negosiasi berlangsung.
Respons AS dan Tantangan Internal
Pemerintahan Presiden Joe Biden belum secara resmi merespons isi proposal tersebut. Namun, menurut The Hill, sumber internal Gedung Putih menyatakan bahwa Washington menyambut baik langkah Iran tersebut sebagai sinyal keterbukaan. Meski demikian, para pejabat AS juga mengingatkan pentingnya verifikasi yang menyeluruh dan tidak bersyarat terhadap setiap komitmen Iran.
Senator Lindsey Graham dari Partai Republik dalam pernyataannya menilai bahwa proposal dari Iran adalah langkah taktis menjelang pemilu presiden AS 2026. “Kita harus berhati-hati. Iran punya sejarah memanfaatkan diplomasi sebagai selubung pengembangan nuklir,” katanya dalam sesi dengar pendapat di Komite Hubungan Luar Negeri Senat.
Di sisi lain, di dalam negeri Iran sendiri, proposal ini juga menghadapi tantangan. Faksi konservatif di Majelis Permusyawaratan Islam (Parlemen Iran) menyuarakan kekhawatiran bahwa pembatasan teknis akan melemahkan posisi strategis negara. Meski demikian, Presiden Ebrahim Raisi telah menyatakan bahwa keputusan diplomatik tetap berada di bawah kebijakan Dewan Keamanan Nasional.
Analisis Pakar: Peluang dan Risiko
Dr. Mahdi Khorsandi, analis kebijakan luar negeri di Universitas Shahid Beheshti, menyatakan bahwa proposal ini bisa menjadi “game changer” dalam relasi Iran-AS jika kedua belah pihak bersedia berkompromi. “Ini bukan hanya soal nuklir, tapi juga soal memulihkan kepercayaan setelah bertahun-tahun saling curiga dan sanksi,” ujarnya dalam wawancara dengan Al-Monitor.
Sementara itu, Prof. Anna Gallagher dari London School of Economics menilai bahwa lokasi perundingan di Roma mencerminkan intensi netral dan simbolik. “Italia memiliki sejarah sebagai mediator lunak dalam konflik nuklir, terutama setelah era Mogherini,” jelasnya.
Kepentingan Ekonomi di Balik Proposal
Selain aspek keamanan, pengamat mencatat bahwa dorongan utama Iran dalam menyusun proposal ini adalah keinginan untuk membuka kembali jalur perdagangan energi dan keuangan internasional. Iran saat ini masih berada di bawah sanksi ekonomi yang membatasi ekspor minyak dan pembiayaan perbankan.
Data dari IMF menunjukkan bahwa ekonomi Iran tumbuh stagnan pada kuartal pertama 2025 dengan inflasi tetap tinggi di angka 42%. Sementara cadangan devisa menurun drastis akibat pembatasan ekspor. Proposal ini, jika diterima, berpotensi membuka peluang pemulihan ekonomi Iran secara bertahap, termasuk kerja sama energi dengan mitra Eropa dan Asia.
Ekspektasi Roma 2025
Putaran kedua perundingan di Roma, yang dijadwalkan berlangsung pada 24–25 April 2025, akan melibatkan perwakilan dari Iran, Amerika Serikat, Uni Eropa, serta pengamat dari Rusia dan Cina. Lokasi yang dipilih adalah Palazzo Farnese, yang sebelumnya juga digunakan sebagai venue dialog multilateral pada 2015.
Dalam agenda resmi, pembahasan akan difokuskan pada verifikasi teknis, sanksi, dan langkah confidence-building measures (CBM). Diplomasi shuttle diperkirakan akan terjadi secara intens, terutama antara delegasi AS dan Iran yang tidak melakukan pertemuan langsung dalam putaran pertama.
Langkah Iran dalam menyusun proposal pembatasan nuklir menandai babak baru dalam diplomasi regional. Meskipun belum ada jaminan bahwa kesepakatan akan tercapai, sinyal-sinyal positif dari kedua pihak membuka harapan akan terciptanya stabilitas baru di kawasan Timur Tengah dan pemulihan hubungan bilateral yang lebih sehat. Tantangannya terletak pada implementasi dan komitmen jangka panjang dari seluruh pihak yang terlibat.
Untuk mengirim komentar, Anda perlu login.
Komentar
Belum ada komentar.